Karya Hamka yang ketiga selepas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Kaabah. Antara buku Buya Hamka yang saya baca, rasanya Merantau Ke Deli lebih jelas dan lantang 'menghentam' adat Minangkabau. Di beberapa tempat di dalam buku ini, Buya Hamka membahas tentang Wahabi. Jual Buku Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Jakarta Pusat. Sumber dari: Jual BUKU HAMKA - TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK dengan harga Rp52.000 dari toko online Galeri Buku Murah, Jakarta Pusat. Cari produk Novel.
Tema cerita yang diangkat sangat kental dengan budaya Minangkabau. Menampilkan keelokan alam dan budaya minang, serta kritik Buya Hamka dengan berbagai praktik budaya yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Buku ini mengisahkan Zainudin, seorang keturunan Minang-Makassar. Darah minang ia dapat dari ayahnya, sedangkan ibunya adalah seorang bugis.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Zainudin berniat mengunjungi bako–nya. Melihat keinginan yang kuat, tak ada alasan bagi pengasuhnya, Mak Base, untuk tidak memberi izin. Disana ia tinggal dengan Mak Tuo-nya. Sehari-hari ia belajar ilmu agama dan adat dari para tetua. Hingga suatu hari ia bertemu dengan Hayati, cintanya pada pandangan pertama. Tetapi Zainudin bukanlah orang Minang, ia tidak bersuku dan berbangsa.
Meskipun ayahnya orang pribumi asli, tapi suku tidak diwariskan oleh ayahnya. Sehingga ia hanya menumpang, tidak ada mamak dan penghulu yang mengakuinya sebagai kemenakan. Ini menjadi alasan cintanya kandas dan tidak direstui keluarga Hayati. Melalui kisah roman ini, Hamka ingin mengkritik sistem pernikahan di Minang masa itu, yang mendiskriminasi jika bukan dari suku Minang tidak boleh menikahi anak gadis yang berasal dari Minang. Orang yang tak bersuku Minang dianggap tidak berbangsa dan tidak paham akan adat Minang. Sehingga dianggap sebagai sebuah aib.
Ini bukan Zainudin dan Hayati dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karena Zainudin dan Hayati dalam cerita ini punya kisahnya sendiri. Kisah ini, tentang dua orang anak kecil yang sama-sama mengikrarkan janji semasa kecilnya, Janji untuk selalu bersama. Sebuah janji polos dari dua orang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Namun, janji itu mengikat keduanya dalam pusaran takdir cinta yang Abadi. Karena setelah janji polos itu terucap, keduanya harus terpisah karena Orangtua Hayati yang dipindah tugaskan ke daerah asalnya. Membuat keduanya terpisah oleh jarak dan waktu.
Keduanya dipertemukan kembali saat sudah dewasa, Kota Yogyakarta menjadi saksi pertemuan dua sejoli itu. Namun, Hayati sudah memiliki calon yang telah dpilihkan oleh sang Ayah. Disinilah perjuangan Zainudin diuji untuk meraih cita dan cintanya. Dikemas dengan konsep Romance Comedy ala anak kuliahan. Ini bukan Zainudin dan Hayati dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karena Zainudin dan Hayati dalam cerita ini punya kisahnya sendiri.
Kisah ini, tentang dua orang anak kecil yang sama-sama mengikrarkan janji semasa kecilnya, Janji untuk selalu bersama. Sebuah janji polos dari dua orang anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Namun, janji itu mengikat keduanya dalam pusaran takdir cinta yang Abadi. Karena setelah janji polos itu terucap, keduanya harus terpisah karena Orangtua Hayati yang dipindah tugaskan ke daerah asalnya.
Membuat keduanya terpisah oleh jarak dan waktu. Keduanya dipertemukan kembali saat sudah dewasa, Kota Yogyakarta menjadi saksi pertemuan dua sejoli itu. Namun, Hayati sudah memiliki calon yang telah dpilihkan oleh sang Ayah. Disinilah perjuangan Zainudin diuji untuk meraih cita dan cintanya.
Dikemas dengan konsep Romance Comedy ala anak kuliahan. Hamka’s Great Story presents Indonesia through the eyes of an impassioned, popular thinker who believed that Indonesians and Muslims everywhere should embrace the thrilling promises of modern life, and navigate its dangers, with Islam as their compass. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) was born when Indonesia was still a Dutch colony and came of age as the nation itself was emerging through tumultuous periods of Japanese occupation, revolution, and early independence. He became a prominent author and controversial public figure. In his lifetime of prodigious writing, Hamka advanced Islam as a liberating, enlightened, and hopeful body of beliefs around which the new nation could form and prosper.
He embraced science, human agency, social justice, and democracy, arguing that these modern concepts comported with Islam’s true teachings. Hamka unfolded this big idea—his Great Story—decade by decade in a vast outpouring of writing that included novels and poems and chatty newspaper columns, biographies, memoirs, and histories, and lengthy studies of theology including a thirty-volume commentary on the Holy Qur’an. In introducing this influential figure and his ideas to a wider audience, this sweeping biography also illustrates a profound global process: how public debates about religion are shaping national societies in the postcolonial world.
MENGAPA Mas Marco Kartodikromo menentang pemerintah kolonial? Apa tujuan Shamsuddin Salleh menulis roman spionase? Mengapa Tahar Ben Jelloun meminjam plot novel Pramoedya Ananta Toer? Kenapa Pramoedya Ananta Toer tidak dianugerahi Hadiah Nobel? Apa idam-idaman para eksil Indonesia pasca peristiwa 1965? Buku ini menyoroti sejumlah pertanyaan seputar sastra Indonesia modern—serta membahas beberapa aspek sejarah Indonesia dari abad ke-17 sampai ke-19, di Aceh, di Bima (Pulau Sumbawa), dan di Jawa.
Benang merah ketiga belas karangan yang terhimpun dalam buku ini adalah pandangan seorang ahli asing yang mengamati kebudayaan Indonesia. Nidali, the rebellious daughter of an Egyptian-Greek mother and a Palestinian father, narrates the story of her childhood in Kuwait, her teenage years in Egypt (to where she and her family fled the 1990 Iraqi invasion), and her family's last flight to Texas. Nidali mixes humor with a sharp, loving portrait of an eccentric middle-class family, and this perspective keeps her buoyant through the hardships she encounters: the humiliation of going through a checkpoint on a visit to her father's home in the West Bank; the fights with her father, who wants her to become a famous professor and stay away from boys; the end of her childhood as Iraq invades Kuwait on her thirteenth birthday; and the scare she gives her family when she runs away from home. Funny, charming, and heartbreaking, A Map of Home is the kind of book Tristram Shandy or Huck Finn would have narrated had they been born Egyptian-Palestinian and female in the 1970s.
From the Hardcover edition. This bestselling intercultural communication text gives students an understanding and appreciation of different cultures and helps them develop practical skills for improving their communication with people from other cultures. COMMUNICATION BETWEEN CULTURES is renowned for being the only text on the market to consistently emphasize religion and history as key variables in intercultural communication. Packed with the latest research and filled with numerous compelling examples that force students to examine their own assumptions and cultural biases, this book helps students understand the subtle and profound ways culture affects communication.
The book is divided into four interrelated parts: Part I introduces the study of communication and culture; Part II focuses on the ability of culture to shape and modify our view of reality; Part III puts the theory of intercultural communication into practice; and Part IV converts knowledge into action. Important Notice: Media content referenced within the product description or the product text may not be available in the ebook version. A coming-of-age tale, a tapestry of erotic and tragic liaisons, a dreamscape of nightmare and wonders, the novel 'Ceremony,' is above all, a paean to the ceremony-rich life of the Benuaq Dayak people of Kalimantan. This post-modern novel took the Indonesian literary scene by storm when it won the Jakarta Arts Council's novel writing competition award in 1976. The author, relatively unknown when he received the award, went on to establish himself as one of Indonesia's major literary figures. After almost four decades, 'Ceremony' retains its power to thrill, awe, and mystify readers. This first English edition of the satirical Indonesian novel (1991) affords an overview of the Sukarno and Suharto eras and insight into the postcolonial condition This scathingly satirical and hilarious novel, first published in Indonesia in 1991, affords both a blithely irreverent overview of Indonesian history in the Sukarno and Suharto eras, and brilliant insights into the postcolonial condition.
Mangunwijaya (1929-2001) was a well-known Indonesian political activist and writer, as well as a Catholic priest, engineer, and architect. Framed by the world of ritual shadow plays - the realm of witches like Durga and the goddess Umayi - Mangunwijaya's novel gives an unblinking but remarkably compassionate account of people caught up in the great nationalist maelstrom of Indonesia's recent history.
Comments are closed.
|
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
March 2023
Categories |